Agar Nyaman Dibaca Pria dan Wanita

diorama rasa for ladies and gents RED SIDE

 

Saya membuat orang-orang bertanya, ‘Ini bacanya gimana?’ dengan ekspresi tidak mengerti mendapati novel Diorama Rasa yang tanpa cover belakang.

 

Saya girang luar biasa mendapati kru Penerbit Bentang Pustaka, penerbit novel Diorama Rasa, membuat covernya tanpa cover belakang, alias kedua cover adalah cover depan. Ini persis seperti yang saya mau. Experience membaca novel dua sisi, inilah yang saya ingin persembahkan dengan novel ini. Tentu saya punya alasan mengapa membuat novel ini dua sisi. Baiklah, mari kita ulik habis di sini.

Alasan pertama, saya ingin mempertegas, bahwa manusia, pria dan wanita memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam banyak hal. Alasan yang sangat klasik memang, tetapi selalu saja menimbulkan masalah. Perbedaan itu salah satunya dalam hal psikologis, utamanya emosi dan kognitif. Cara wanita merasa berbeda dengan cara pria merasa. Cara wanita berpikir, berbeda dengan cara pria berpikir. Detil yang diperhatikan wanita, berbeda dengan detil yang diperhatikan pria. Karena memiliki proses kognitif yang berbeda, cara pria dan wanita dalam mengambil keputusan dan bertindak berbeda, maka mereka menunjukkan sikap yang berbeda pula. Mental state-nya saja sudah beda, maka perilaku luarnya pun akan berbeda pula. Saya ingin sekali perbedaan ini lebih terasa dengan menyajikan beberapa peristiwa yang sama tetapi dicerna dan disikapi dengan cara yang berbeda oleh karakter Kara dan Adrian.

 

Apa yang saya harapkan dari ‘penegasan’ ini? saya berharap ada sebuah penyadaran, bahwa karena perbedaan ini adalah ‘setting-an dari sononya’, maka segala konflik yang muncul karena perbedaan ini diterima, dimaklumi, difahami, lalu ditoleransi. Bersikukuh pada perbedaan yang niscaya hanyalah menimbulkan kesia-siaan belaka. Syukur-syukur perbedaan ini malah kemudian dipandang sebagai karunia Sang Pencipta agar kita hidup saling melengkapi. Agar tak selalu bersitegang, tertawakan saja efek perbedaan ini. Ketika pasangan wanita kesulitan ‘membaca’ Google Map, saatnyalah si pria menangani yang memang ‘bidang’nya itu. Ketika si pria tertegun heran bagaimana wanita bisa begitu multitasking, tertawakan saja ‘tidak habis pikir’nya itu.

 

Kedua, memberi ruang yang nyaman bagi pembaca pria dan wanita untuk memahami gendernya sendiri dan membahami karakter lawan gendernya. Perasaan terwakili oleh gender masing-masing dapat mendorong pembaca mengidentifikasi dirinya pada salah satu tokoh. Dengan begitu nilai-nilai dalam sebuah novel memberikan pengaruh pada pembacanya. Melalui celah semacam itulah nilai-nilai dalam sebuah novel menginfiltrasi pembacanya. Dengan memberi ruang masing-masing gender, pembaca merasa nyaman dan flow dalam cerita tetapi juga objektif dalam memandang lawan gendernya.

 

Ketiga, bahwa pria dan wanita memiliki bangunan karakternya masing-masing. Dengan mendeskripsikan dua pihak masing-masing secara penuh, saya berharap pembaca pun melihat karakter Kara dan Adrian sebagai bangunan pribadi yang utuh dan mandiri, tetapi ketika mereka berinteraksi, interaksi mereka menjadi interaksi yang dinamis dan tidak terduga. Dinamis, iya, yang namanya interaksi sudah pasti akan begitu. Tetapi tidak terduganya ini yang seringkali perlu penjelasan. Namun demikian, walaupun tidak terduga tetapi lebih mudah memahami dinamika psikologis masing-masing tokoh karena pembaca punya referensi yang cukup tentang bangunan karakter masing-masing dari nilai yang diyakini tokoh, kebiasaan, harapan, dan sebagainya.

 

Menulis novel dua sisi memberi saya kesempatan mengeksplorasi dan berbagi pengetahuan dengan cara mendeskripsikan cara berpikir pria, lawan gender saya. Cara berpikir & bertindak mereka yang bagi saya sendiri tampak begitu berbeda, seringkali menimbulkan pikiran ‘bagaimana sealur dan sealiran’ dengan mereka sehingga meminimalisir gesekan. Menurut tes mbti yang pernah saya ikuti secara online, saya cek balik ke web-nya sekarang sudah tidak bisa melakukan tes seperti dulu lagi, ternyata saya adalah pencari harmoni. Pencari harmoni seringkali menghindari konflik dengan cara memanfaatkan celah yang bisa mempertemukan pada titik ‘setuju/ win win solution’.

 

Itulah alasan saya menyajikan novel dua sisi. Tantangan dan kelemahan, sudah tentu ada. Menariknya, ada seorang pembaca pria yang ‘bela-belain’ mengirim pesan kepada saya tentang keheranannya, bagaimana saya bisa menggambarkan ‘soul’ (pembaca ini menggunakan istilah ‘soul’, padahal yang dimaksud adalah karakter) pria yang notabene lawan gender saya. Saya tak bisa menafikkan jika ada pembaca Diorama Rasa yang melihat saya menggambarkan tokoh pria, Adrian, dengan kacamata saya. Begitupun usaha saya untuk objektif, tentu kecenderungan saya itu tidak bisa dibersihkan sebersih-bersihnya.

Leave a comment